Senin, 08 April 2013

Difteri


Keperawatan Anak pada Difteri
1.      Pengertian
Difetri adalah suatu penyakit infeksi mendadak yang disebabkan oleh kuman Corynebacterium diphtheriae dan Corynebacterium ulcerans, yang terjadi secara local pada mukosa atau kulit. Ditandai oleh terbentuknya eksudat yang berbentuk membrane pada tempat infeksi dan diikuti oleh gejala-gejala umum yang ditimbulkan oleh eksotoksin yang diproduksi oleh basil ini. Mudah menular dan menyerang terutama saluran napas atas dengan tanda khas berupa pseudomembran dan dilepaskannya eksotoksin yang dapat menimbulkan gejala umum dan local. Penularan biasanya melalui udara, berupa infeksi lewat droplet, selain itu dapat melalui benda atau makanan yang terkontaminasi. Masa tunas bakteri berkisar antara 2-7 hari setelah terinfeksi.

2.      Etiologi
Corynebacterium diphtheriae (Klebsloeffler), bakteri gram positif yang bersifat polimorf, tidak bergerak, tersusun berpasangan (palisade), aerobic, dapat memproduksi eksotoksin, dan tidak membentuk spora. Berbentuk seperti palu (pembesaran pada salah satu ujung), dengan  diameter 0,1-1 mm dan panjang beberapa mm. basil ini hanya tumbuh pada medium tertentu, seperti : medium loeffler, medium tellurite, medium fermen glukosa, dan Tindael agar. Menurut bentuk, besar dan warna koloni yang terbentuk, terdapat 3 jenis basil, yaitu :
a.       Gravis : koloni besar, kasar, ireguler, bewarna abu-abu dan tidak menimbulkan hemolisis eritrosit.
b.      Mitis : koloni kecil, halus, warna hitam, konveks dan dapat menimbulkan hemilisis eritrosit.
c.       Intermedius : koloni kecil, halus, mempunyai bintik hitam ditengahnya dan dapat menimbulkan hemolisis eritrosit.
Sebagian besar jenis yang tidak virulen adalah termasuk grup mitis, kadang-kadang ada bentuk gravis atau intermediate yang tidak virulen terhadap manusia.
Basil dapat berbentuk :
    1. Pseudomembran yang sukar diangkat, mudah berdarah, dan berwarna putih keabu-abuan yang meliputi daerah yang terkena; terdiri dari fibrin, leukosit, jaringan nefrotik, dan basil.
    2. Eksotoksin yang sangat ganas dan dapat meracuni jaringan setelah beberapa jam diabsorpsi dan memberikan gambaran perubahan jaringan yang khas terutama pada oot jantung, ginjal, dan jaringan saraf. Minimum lethal dose (MLD) toksin ini ialah 0,02 ml.

3.      Klasifikasi
Klasifikasi penyakit difteri secara klinis adalah menurut lokalisasi terjadinya infeksi pertama, antar lain :
a.       Difteri nasal anterior.
b.      Difteri nasal posterior.
c.       Diferi fausal.
d.      Difteri laringeal.
e.       Difteri konjungtiva.
f.       Difteri kulit.
g.      Difteri vulva/vagina
Jenis yang paling sering ditemukan adalah ifteri fausial. Satu hal yang perlu diperhatikan adalah masih ada kemungkinanditemukan kasus difteri yang mengenai lebih dari satu lokasi, misalnya nasal dan fausial, atau fausial dan laringeal.

Sedangkan berdasarkan berat ringanya penyakit difteri yang diderita, dibedakan menjadi :
a.       Infeksi ringan : pseudomembran terbatas pada mukosa hidung atau fasial dengan gejala hanya nyeri menelan.
b.      Infeksi sedang : pseudomembran menyebar luas sampai dindin posterior faring dengan edema ringan laring yang dapat diatasi dengan pengobatankonservatif.
c.       Infeksi berat : disertai gejala sumbatan jalan nafas yang berat, yang hanya dapat diatasi dengan trakeostomi. Juga gejala komplikasi miokarditis paralisis, atau pun nefritis dapat menyertainya.

4.      Patofisiologi
Manusia merupakan satu-satunya reservoir dari infeksi difteri. Penularan penyakit ini terjadi apabila terjadi kontak dengan penderita atau pun carier lewat perantara droplet ketika berbicara, penderita batuk atau bersin. Kontak secara tidak langsung dapat pula lewat debu, baju, buku ataupun mainan yang terkontaminaasi. Kontak tidak langsung ini bisa terjadi karena basil ini cukup resisten terhadap udara panas, dingin dan kering, dan tahan hidup pada debu dan muntahan selama 6 bulan.   Basil hidup dan berkembang biak pada saluran napas atas, terlebih-lebih bila terdapatperadangan kronis pada tonsil, sinus, dll.basil dapat pula hidup pada vulva, telinga, dan kulit. Pada tempat ini basil membentuk pseudomembran dan melepaskan eksotoksin.

5.      Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis dari difetri tergantung dari lokasi infeksi, imunitas penderitanya, dan ada tiaknya toksin difteri yang beredar di dalam sirkulasidarah. Gejalanya mulai dari yang paling ringan seperti gejala-gejala influenza biasa, sampai kepada yang paling berta, yang menimbulkan obstruksi saluran napas yang idak jarang menimbulkan kematian.
a.       Difteri hidung : pilek dengan secret bercampur darah. Gejala konstitusi ringan.
b.      Difteri faring dan tonsil (fausial) : terdapat radang akut tenggorokan, demam tinggi 38,5o C, takikardi, tampak lemah, napas berbau, timbul pembengkakan kelenjar regional (bull neck). Membran dapat berwarna putih, abu-abu kotor atau abu kehijauan dengan tepi yang sedikit terangkat. Bila membran diangkat akan timbul perdarahan. Tetapi, prosedur ini dikontraindikasikan karena mempercepat penyerapan toksin.
c.       Difteri laring : jenis yang terberat, terdapat afonia, sesak, stridor inspirasi, demam sampai 40o C, sangat lemah, sianosis, bull neck.
d.      Difteri kutaneus dan vaginal : lesi ulseratif dengan pembentukan membran. Lesi persisten dan sering terdapat anestesi.


6.      Pemeriksaan Penunjang
Uji Schick merupakan pemeriksaan untuk mengetahui apakah seorang telah mengandung antitoksin. Dengan titer antitoksin 0,03ml satuan per milliliter darah cukup dapat Manahan infeksi difteria. Untuk pemeriksaan ini digunakan dosis 1/50 MLD yang diberikan secara intrakutan dalam bentuk larutan yang telah iencerkan sebanyak 0,1 ml. Pada seorang yang tidak mengandung antitoksin akan timbul vesikel pada bekas suntikan dan hilang setelah beberapa minggu. Pada yang mengandung titier antitoksin rendah, uji Schickdapat positif; pada bekas suntikan timbul warna merah kecoklatan dalam 24 jam.
Uji schick dikatakan negatif bila tidak didapatkan rekasi apapun pada tempat suntikan dan ini terdapat pada orang dengan imunitas atau antitoksin yang tinggi. Positif palsu terjadi akibat reaksi alergi terhadap proteinantitoksin yang akan menghilang dalam 24 jam.
Dalam pemeriksaan penunjang dapat ditemukan atau dapat terjadi leukositosis ringan.
Difteri dapat ditegakkan diagnosisnya apabila dalam pemeriksaan preparat menggunakan biru metilen atau biru toluidinatau biakan dengan nedia Loeffler ditemukan Corynebacterium diphtheriae.

7.      Komplikasi
a.       Saluran napas : obstruksi jalan napas, bronkopneumoni, atelektasis paru.
b.      Kardivaskuler : miokarditis akibat toksin kuman.
c.       Urogenital : nefritis.
d.      Susunan saraf : paralisis/paresis palatummole (minggu I dan II), otot mata (minggu III), dan umum (setelah minggu IV).

  1. Penatalaksanaan
Dilakukan bila klinis menyokng kearah ifteria tanpa menunggu hasil pemeriksaan penunjang. Tata laksana umum denga tirah baring, isolasi pasien, pengawasan ketat atas kemungkinan komplikasi, antara lain pemeriksaaan EKG setiap minggu. Pasien dirawat selama 3-4 minggu. Sedangkan secara khusus atara lain :
    1. Anti-Dipthteria Serum (ADS) diberikan dengan dosis 20.000-100.000 U, tergantung pada lokasi, adanya komplikasi, dan durasi penyakit. Sebelum lakukan uji kulit (pengenceran 1:100) atau mata (pengenceran 1:10). Bila pasien sensitive, lakukan desensitisasi cara Besredka.
    2. Antibiotic Penisilin prokain 50.000 U/kg BB/hari sampai 10 hari. Bila alergi, berikan eritromisin 40 mg/kg BB/hari. Bila dilakukan trakeostomi, tambahkan kloramfenikol 75 mg/kg BB/hari dalam 4 dosis.
    3. Kortikosteroid. Digunakan untuk mengurangi edema laring dan mencegah komplikasi miokarditis. Diberikan prednisone 2 mg/kg BB/hari selama 3 minggu yang dihentikan secara bertahap.
    4. Bila ada komplikasi paresis otot dapat diberikan striknin ¼ mg dan vitamin B­­­1  100mg setiap hari berturut-turut.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar