Di
Indonesia TBC merupakan penyebab kematian utama dan angka kesakitan dengan
urutan teratas setelah ISPA. Indonesia menduduki urutan ketiga setelah India
dan China dalam jumlah penderita TBC di dunia. Jumlah penderita TBC paru dari
tahun ke tahun di Indonesia terus meningkat. Saat ini setiap menit muncul satu
penderita baru TBC paru, dan setiap dua menit muncul satu penderita baru TBC
paru yang menular. Bahkan setiap empat menit sekali satu orang meninggal akibat
TBC di Indonesia. untuk itu dibutuhkan obat anti TBC yang sesuai diantaranya :
Obat
TBC diberikan dalam bentuk kombinasi dari beberapa jenis, dalam jumlah cukup
dan dosis tepat selama 6-8 bulan yang diberikan dalam 2 tahap yaitu tahap
intensif dan tahap lanjutan. Tujuannya supaya semua kuman (termasuk kuman
persister) dapat dibunuh. Dosis tahap intensif dan dosis tahap lanjutan ditelan
sebagai dosis tunggal, sebaiknya pada saat perut kosong. Apabila paduan obat
yang digunakan tidak adekuat (jenis, obat dan jangka waktu pengobatan), kuman
TBC akan berkembang menjadi resisten. Pendampingan dan supervisi pengobatan
dengan program DOT akan membantu meningkatkan kepatuhan pasien.
Untuk
menjamin mutu obat-obat anti tuberculosis FDC dan non FDC yang beredar di
Indonesia, produk-produk tersebut harus dilakukan uji Bioekivalensi terlebih
dahulu sebelum dipasarkan. Uji Bioekivalensi sangat erat hubungannya dengan
formulasi dan bahan baku zat aktif yang digunakan, untuk memprediksi kesetaraan
kadar obat dalam darah setelah obat diminum dibandingkan dengan produk inovator
yang telah melakukan uji klinik sebelumnya.
Jenis Obat Anti Tuberkulosis
1. Isoniasid
(H): dikenal dengan INH, bersifat bakterisid, dapat membunuh 90% populasi kuman
dalam beberapa hari pertama pengobatan. Obat ini sangat efektif terhadap kuman
dalam keadaan metabolik aktif, yaitu kuman yang sedang berkembang.
2. Rifampisin
(R): Bersifat bakterisid, dapat membunuh kuman semi-dormant (persister) yang
tidak dapat dibunuh oleh Isoniasid.
3. Pirasinamid
(Z): Bersifat bakterisid, dapat membunuh kuman yang berada dalam sel dengan
suasana asam.
4. Streptomisin
(S): Bersifat bakterisid. Menyebabkan kerusakan saraf ke delapan yang berkaitan
dengan keseimbangan dan pendengaran. Keadaan ini dapat dipulihkan bila obat
segera dihentikan. Dapat menembus barier plasenta sehingga tidak boleh
diberikan pada wanita hamil karena dapat merusak saraf pendengaran janin.
5. Etambutol
(E): Bersifat sebagai bakteriostatik. Diikutkan dalam pengobatan jika
diprediksi ada resistensi terhadap INH.
WHO
dan IUATLD (International Union Against Tuberkulosis and Lung Disease)
merekomendasikan pengobatan tuberkulosis berdasarkan kategori sebagai
berikut:
PADUAN OAT DI INDONESIA
Indonesia
menggunakan paduan OAT sesuai anjuran WHO. Namun penggunaan OAT pada tahap 4
digunakan istilah OAT sisipan. Paduan OAT tersebut antara lain:
1.
Kategori-1
(2HRZE/4H3R3):
Tahap
intensif terdiri dari Isoniasid (H), Rifampisin (R), Pirasinamid (Z) dan
Etambutol (E). Obat-obat tersebut diberikan setiap hari selama 2 bulan (2HRZE).
Kemudian diteruskan dengan tahap lanjutan yang terdiri dari Isoniasid (H) dan
Rifampisin (R), diberikan tiga kali dalam seminggu selama 4 bulan.
2.
Kategori-2
(2HRZES/HRZE/5H3R3E3):
Diberikan
selama 3 bulan yang terdiri dari 2 bulan dengan HRZE dan suntikan Streptomisin
setiap hari, dilanjutkan 1 bulan dengan HRZE setiap hari dan tahap lanjutan
yang terdiri dari HRE diberikan tiga kali dalam seminggu selama 5 bulan.
3.
Kategori-3
(2HRZ/4H3R3):
Tahap
intensif terdiri dari Isoniasid (H), Rifampisin(R) dan Pirasinamid (Z).
Diberikan setiap hari selama 2 bulan dilanjutkan dengan tahap lanjutan yang
terdiri dari HR diberikan 3 kali semingu selama 4 bulan.
4.
OAT
Sisipan (HRZE)
Bila
pada akhir tahap intensif pengobatan penderita baru BTA positif dengan kategori
1 atau penderita BTA positif pengobatan ulang kategori 2, hasil pemeriksaan
dahak masih BTA positif, diberikan pengobatan sisipan setiap hari selama satu
bulan.
Paduan
OAT ini disediakan dalam bentuk paket kombipak, dengan tujuan untuk memudahkan
pemberian obat dan menjamin kelangsungan (kontinuitas) pengobatan sampai
selesai. Satu paket untuk satu penderita dalam satu masa pengobatan. Beberapa
OAT kombipak yang beredar di Indonesia antara lain Paduan OAT kategori I, II
dan III, Paduan OAT sisipan, Paduan OAT Kategori Anak, Kombipak anak.
Obat
primer tuberkulosis sangat
efektif dengan efek samping yang masih bisa ditolerir. Sebagian besar penderita
bisa sembuh dengan obat ini
Pengobatan tuberkulosis sekunder meliputi :
1)
Kanamisin
2)
PAS
(Para Amino Salicylic) Acid
3)
Tiasetazon
4)
Etionamid
5)
Protionamid
6)
Sikloserin
7)
Viomisiun
8)
Kapreomisin
9)
Amikasin
10) Ofloksasin
11) Siprofloksasin
12) Klofazimin
Hampir semua obat anti tuberkulosis (OAT)
bersifat bakterisid kecuali
ethambutol (E). Ethambutol (E) hanya bersifat bakteriostatik sehingga masih
berperan pada resistensi bakteri.
Rifampisin (R) dan pirazinamid (Z) bersifatsterilisasi yang baik.
Rifampisin (R) dan pirazinamid (Z) bersifatsterilisasi yang baik.
TABLET
FIXED DOSE COMBINATION (FDC)
Penderita
tuberkulosis di dunia masih menggunakan OAT tunggal. Untuk memperbaiki
pengobatan tuberkulosis WHO menganjurkan menggunakan 2 dan 3 OAT- FDC dalam
strategi DOTS. Terakhir WHO menambahkan 4 OAT-FDC dalam model daftar obat
essensial untuk pengobatan tuberkulosis secara FDC lengkap).
OAT-FDC
diberikan dengan tujuan mencegah ketidakpatuhan atau kelalaian minum obat,
mengurangi jumlah obat yang diminum perhari, dan menurunkan MDR. Pada program
DOT yang tidak terpantau, pemberian OAT-FDC merupakan paduan OAT yang dianggap
cukup rasional dari segi dosis dan pemberian. Program ini sangat membantu keberhasilan
pengobatan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar